Assalamualaikum W.W.
Anak-anak berikut adalah teks cerpen yang harus kalian baca untuk dianalisis.
Pengemis dan Sholawat Badar
Bus
yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk
langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus
itu bersama isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak
perlu bersinggungan badan. Namun, dari sebelah kiriku bertiup bau keringat
melalui udara yang dialirkan dengan kipas koran. Dari belakang terus-menerus
mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk.
Begitu
bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di
antara mereka sudah membajing loncat ketika bus masih berada di mulut terminal.
Bus menjadi pasar yang sangat hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan
dan sopir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan
dagangan dengan suara melengking agar bisa mengatasi derum mesin. Mereka
menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para
penumpang. Kemudian mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau
berbelanja. Seorang di antara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para
penumpang adalah manusia-manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya
duit.
Suasana
sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan
yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang
hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk
meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun, laki-laki yang menjadi tumpuan harapan
itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau
dengan seorang perempuan penjual buah. Sementara para penumpang lain kelihatan
sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain.
Perjalanan
semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku
mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena
sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku
selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang:
Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan
yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan
asap di belakangku itu. Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika
seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam.
Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan
fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening.
Dan tangannya menengadah. Lelaki itu mengemis.
Aku
membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan
baik-baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu
terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan
kudengar sendiri ada lelaki membaca shalawat badar untuk mengemis. Kukira
pengemis itu sering mendatangi pengajian-pengajian. Kukira dia sering
mendengar ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup baik dunia maupun akhirat.
Lalu dari pengajian seperti itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela
kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar yang kini sedang
dikumandangkannya sambil menadahkan tangan.
Semula
ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat
itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu
sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak
merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal
dapat dibaca pada wajah si pengemis itu. Di sana aku lihat kebodohan,
kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat
kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan
Shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan
hidup ada berbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang
sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini
menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang
salah" Sayangnya, aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus
membaca shalawat itu.
Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh
bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi.
Kondektur melompat masuk dan berte-riak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh
bunyi mesin disel yang meraung-raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar.
Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak penuh, sementara sopir sudah
bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang. Mereka
terus bertengkar melalui kata-kata yang tak sedap didengar. Dan bus terus
melaju meninggalkan terminal Cirebon. Sopir yang marah menjalankan busnya
dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah
lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat
pintu belakang.
"He,
sira! Kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu
gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?" Pengemis itu diam
saja. "Turun!" Sira beli mikir! Bus cepat seperti ini aku harus
turun?"
"Tadi siapa suruh kamu naik?"
"Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya cuma mau ngemis, kok.
Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh."
Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak
menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan
sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat.
Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega,
bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali
bergumam: "... shalatullah, salamullah, 'ala thaha rasulillah...."
Shalawat itu terus mengalun dan terdengar
makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan
terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama
aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh
jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca
shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang
sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang
kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa
mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering
mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Dan
dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya
boleh dipakai modal menadahkan tangan.
Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan
peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar guntur meledak dengan suara dahsyat.
Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat
itu terluka dan beberapa di antaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena
merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke tanah.
Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan
mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan.
Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku
ada malapetaka.
Bus
yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan.
Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam
keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit
memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar
orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari
bangkai bus. Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang
berjalan kembali ke arah kota Cirebon. Telingaku dengan gamblang mendengar
suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang ke arah timur itu:
"shalatullah, salamullah, 'ala thaha rasulillah..."
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/51088/pengemis-dan-shalawat-badar